Jakarta, NPC –
Kerjasama itu seharusnya saling menguntungkan. Jika buntung pada satu pihak, maka kerjasama tersebut sangat wajar untuk ditinggalkan.
Data yang dirilis ke publik, Indonesia berhutang dana pembangunan sampai Rp328 Triliun pada China. Jumlah ini sama dengan lebih kurang 15 kali APBD Kaltim yang tahun ini di posisi Rp20-an T.
Keadaan ini memicu keresahan di kalangan warga negara. Pasalnya karena utang yang terlalu banyak itu, secara psikologi Indonesia bergantung pada negara pemberi utang. Kebijakan pemerintah akan mudah dipengaruhi kepentingan negara pemberi utang. Yang dikhawatirkan, kebijakan pemerintah yang memuat kepentingan negara pemberi utang itu, akan menyenggol kepentingan rakyatnya sendiri.
Keresahan lain dari banyaknya utang pada China, Indonesia akan terdampak langsung atas kondisi perekonomian China. Diprediksi perekonomian China tahun depan mulai melambat, pada kisaran 4 persen. Padahal perekonomian Indonesia di tahun depan diprediksi akan meroket, bisa di angka minimal 6 persen.
Jika terus menerus bergantung pada bisnis ke China, situasi yang ada nantinya malah Beijing ‘numpang’ kenaikan ekonomi Indonesia yang bakal segera meroket. Berinvestasi besar ke negara lain jadi cara China mengakali lesunya perekonomian di dalam negeri mereka.
AS bisa jadi contoh Indonesia dimana mereka mulai melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi ke China. AS mulai menghentikan beberapa kerja sama perdagangan dengan China lantaran cuma menguntungkan pihak Beijing saja.
Penelitian yang dilakukan China in The World, membuat peringkat 82 negara yang paling bergantung ke Beijing. Dari jumlah tersebut, 10 negara yang paling bergantung kepada China di ataranya Pakistan, Kamboja, Singapura, Thailand, Peru, Afrika Selatan, Filipina, Kirgistan, Malaysia serta Tajikistan. Ke-10 negara itu sangat tergantung di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, kebijakan luar negeri dan militer.
Lantas dimana posisi Indonesia? Indonesia menempati urutan ke-16 dari 82 negara yang disusun oleh China in The World.
Sektor teknologi Indonesia sebanyak 40,38 persen bergantung pada China.
Sementara ekspor Indonesia ke China paling fenomenal dan meningkat ialah hilirisasi sektor besi, baja dan nikel.
China jadi pembeli sekaligus investor nikel terbesar di Indonesia.
Jika hal ini terus berlanjut maka yang ada perekonomian Indonesia semakin bergantung pada China.
Apalagi ekspor besi, nikel dan baja Indonesia cuma digunakan untuk keperluan dalam negeri China sendiri, tak ada uang yang berputar kembali ke Jakarta dalam jumlah besar.
Untuk mengakali hal ini Indonesia harus mengubah cara pandang, dimana kerja sama perdagangan harus didasarkan pada kebutuhan.
Indonesia harus independen membangun diplomasi perdagangan berdasarkan pertemanan bukan kesamaan cara pandang politik atau ekonomi.
Terlebih BI mencatat Indonesia juga memiliki hutang ke China sebanyak Rp 328 triliun lebih hingga September 2023.
China pernah memaksa agar pembayaran utangnya menggunakan APBN Indonesia, suatu trik untuk mengendalikan pemerintahan negeri ini.
Untungnya langsung ditolak pemerintah Indonesia,, karena cicilan pembayaran utang cukup menggunakan keuntungan dari ekspor-impor yang dilakukan Indonesia.
China memang hobi memberikan utangan ke negara lain apalagi yang berstatus miskin. Dengan harapan negara tersebut tidak bisa membayar hingga jatuh tempo, sehingga meminta ganti kedaulatan si pengutang.
Hal ini sudah terjadi di Sri Lanka. Ketika Kolombo (ibu kota Sri Lanka) tidak bisa membayar utang, pelabuhan penting mereka disita China.
Bahkan China sudah membidik tiga negara miskin di ASEAN untuk dijadikan kacungnya supaya tak mengganggu jalannya klaim Nine Dash Line.
Ketiga negara miskin ASEAN itu ialah sahabat Indonesia yakni Kamboja, Laos dan Myanmar.
“Tiongkok pada awalnya berusaha untuk memperkuat perpecahan di dalam blok tersebut melalui cara-cara diplomatik, dengan menekan beberapa negara ASEAN yang tidak mengajukan klaim yaitu Kamboja, Laos, dan Myanmar untuk tidak bersuara terlalu keras mengenai masalah ini (klaim Nine Dash Line).
“Ketiga negara ini juga merupakan negara termiskin di Asia Tenggara yang paling bergantung secara ekonomi pada Tiongkok, sehingga memberikan keharusan lebih lanjut untuk tidak mengkritik kebijakan Beijing di Laut Cina Selatan,” beber Geopolitical Monitor pada 4 April 2018.
(iz/zonajakarta)
Editor : Luk