Catatan Rizal Effendi – CATATAN saya, ada dua tokoh yang memopulerkan soal perdagangan karbon. Yaitu Isran Noor dan Gibran Rakabuming Raka. Isran adalah gubernur Kaltim (2018-2023) dan Gibran, wali Kota Solo, putra sulung Presiden Jokowi yang menjadi calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi Prabowo Subianto.
Gibran heboh dengan pertanyaannya soal carbon capture and storage (CCS) di arena debat cawapres, sedang Isran sebelumnya sudah terlibat dalam proses perdagangan karbon, baik ketika masih menjadi gubernur Kaltim maupun di masa sekarang, meski tak lagi menjadi kepala daerah.
Soal penangkapan dan penyimpanan karbon atau CCS sudah dijawab Presiden Jokowi dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan Karbon, yang ditetapkan 30 Januari 2024.
Perpres itu menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai wilayah penyimpanan karbon dan berpotensi menjadi lokasi penangkapan di tingkat nasional maupun regional. Sehingga meningkatkan daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari proses bisnis penangkapan, pengangkutan dan penyimpanan karbon.
Menyusul terbitnya Perpres itu, Indonesia langsung menandatangani kerjasama dengan Singapura di bidang proyek CCS. Singapura sendiri saat ini membangun pabrik penghilang karbon dioksida berbasis laut terbesar di dunia, yang dijuluki Equatic-1 dengan nilai 20 juta US dolar.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Indonesia siap menjadi pusat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon di dunia. Dia mengklaim Indonesia mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 400 gigaton (satu gigaton sama dengan satu miliar metrik ton).
Pemerintah Indonesia menargetkan penerapan teknologi CCS atau penyimpanan karbon dioksida (CO2) di reservoir bawah tanah bekas sumur minyak dan gas bumi (migas) akan dimulakan pada 2030.
Menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, ada 10 lokasi di Indonesia yang berpotensi menjadi tempat dilakukannya CSS. Salah satunya di Kaltim, dengan potensi penyimpanan 139,5 juta ton CO2-e (equivalent).
Kalau kita mengutip dari Wikipedia, penangkapan dan penyimpanan karbon diartikan sebagai suatu proses penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida (CO2) selama persiapan bahan bakar fosil maupun dari limbah hasil pembakarannya. Setelah ditangkap, karbon disimpan dalam waktu yang lama di tempat penyimpanannya yang jauh dari atmosfer.
Penangkapan karbon dapat mencapai 14 persen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) global yang dibutuhkan pada tahun 2050 dan dipandang sebagai satu-satunya cara praktis untuk mencapai dekarbonisasi mendalam di sektor industri.
GRK adalah gas-gas di atmosfer bumi yang memerangkap panas. Gas-gas tersebut bertindak seperti dinding kaca rumah kaca. Karena itu disebut gas rumah kaca atau greenhouse gas. Para ilmuwan sepakat bahwa GRK adalah penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
GRK dapat dikurangi dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak dan gas. Serta beralih ke energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
MENHUT PUJI KALTIM
Saya kaget ketika bertemu Isran. Dia mengatakan sedang terlibat serius dalam bisnis karbon atau carbon trading. Dia sudah ke Brazil belajar tentang perdagangan karbon. Juga datang langsung ke markas Bank Dunia di Washington D.C.
“Ini ladang bisnis baru yang sangat menjanjikan. Apalagi Kaltim punya kawasan hutan yang luas, yang bisa menyerap karbon lebih besar,” katanya.
Isran memang sudah membuktikan kerjanya. Berkat kegigihan dan perjuangannya ketika menjadi gubernur, Kaltim menjadi provinsi pertama di Indonesia yang mendapat pembayaran karbon (Carbon Fund) sebesar 110 juta dolar AS atau sekitar Rp1,7 triliun.
Dana itu sebagian sudah diterima dan dibagi-bagi ke daerah termasuk masyarakat adat di sekitar hutan. Maklum insentif karbon itu berkat komitmen Kaltim yang tidak menghabiskan hutannya. Itu sebabnya Isran pernah mengancam dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB, COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun 2021, kalau insentif tidak diberikan lebih baik hutan di Kaltim dia tebang habis saja. Ancaman itu ternyata membuahkan hasil.
Hebatnya emisi karbon yang diproduksi Kaltim melebihi target. Kaltim mampu meraih 32 juta CO2-e. Padahal targetnya 22 juta ton, sehingga ada kelebihan 10 juta ton. Isran ingin kelebihan itu dijual di pasar bebas, karena harganya jauh lebih tinggi, sehingga lebih besar lagi pendapatan yang diraup.
Data terbaru yang diungkapkan Isran, Kaltim mampu menyerap 500 juta ton CO2-e. Harganya di pasaran tidak 5 dolar, tapi bisa mencapai 40-an dolar. Itu berarti dari perdagangan karbon Kaltim bisa meraup pendapatan sampai Rp300 triliun. Lebih 10 kali lipat dari APBD Kaltim. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dan terbayangkan besarnya. Itu salah satu bukti hasil Kaltim Berdaulat.
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Siti Nurbaya memuji langkah yang dilakukan Kaltim. Dia mengakui dalam praktiknya daerah ini telah lebih dulu bekerja terkait mitigasi iklim dan urusan karbon melalui kegiatan fasilitas kemitraan karbon hutan atau Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) World Bank.
PCFP adalah mendukung upaya suksesnya program REDD+. Ini singkatan dari Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation atau Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. REDD+ merupakan tipe pembayaran jasa lingkungan yang secara teori dapat digunakan untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakat hutan, termasuk masyarakat adat yang mengandalkan hutan bagi penghidupan mereka.
Menyusul Kaltim adalah Proyek BioCF Jambi, di mana kemudian kedua provinsi ini menjadi tempat belajar untuk mitigasi iklim, penurunan emisi CO2 dan skema prestasi penurunan emisi dengan mekanisme Result Based Paymen (RBP) atau pembayaran berbasis hasil.
RBP dimaksudkan sebagai skema pembayaran dari pihak lain yang memiliki kewajiban menurunkan emisi GRK dalam Perjanjian Paris 2015. Cara menurunkan emisi salah satunya dengan menekan deforestasi dan konservasi. Tidak membabat hutan dan menjaga kelestarian alam.
Banyak yang tanya apa itu karbon? Soalnya di masa lalu kita hanya kenal istilah kertas karbon atau karbon jahit. Kertas karbon digunakan untuk membuat salinan naskah terutama ketika mengetik di mesin tik, sedang karbon jahit digunakan untuk menjiplak suatu pola pakaian pada kain.
Kertas karbon sudah jarang digunakan karena sudah tergantikan oleh mesin fotokopi dan printer komputer. Malah belakangan juga disisihkan dengan kehadiran telepon pintar atau HP, yang bisa mengirim dengan cepat berbagai naskah kepada pihak lain.
Lalu apa yang dimaksud dengan istilah karbon atau emisi karbon? Apalagi mulai ramai diperdagangkan sebagai komoditas baru berorientasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Bahkan sudah menjadi kesepakatan 195 negara termasuk Indonesia dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang ditandatangani 12 Desember 2015. Jauh sebelumnya dalam Protokol Kyoto tahun 2005 juga sudah diatur soal perdagangan karbon.
Di situ disebutkan dalam Pasal 17 Protokol Kyoto, negara-negara yang mampu menyerap lebih banyak emisi karbon dioksida (CO2) dapat menjualnya kepada negara-negara yang mengeluarkan banyak emisi.
Jadi karbon yang diperdagangkan sekarang sudah pasti bukan kertas karbon. Ini karbon dioksida atau CO2. Perdagangan karbon adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan nilai ekonomi karbon. Istilah lain terkadang disebut sistem cap-and-trade atau Emission Trading System (ETS).
Sesuai namanya, model ini merupakan pendekatan berbasis pasar. Di satu sisi dimaksudkan membatasi dan mengontrol polusi, di sisi lain menyediakan insentif ekonomi untuk upaya peningkatan efisiensi energi, pengurangan emisi dan juga transisi energi.
Dua cara lain yang juga bisa diterapkan untuk menurunkan emisi karbon adalah penerapan pajak karbon atau pungutan karbon (carbon levy) serta kredit karbon atau dikenal juga sebagai kompensasi karbon (carbon offset).
Pajak karbon merupakan harga yang harus dibayar oleh mereka atau emiten yang melepaskan emisi karbon ke alam. Pendekatan ini dimaksudkan untuk membuat orang lebih enggan untuk menimbulkan emisi karena mesti menanggung biaya pajak.
Sedang carbon effset mengandalkan aktivitas yang persis berkebalikan dari emisi karbon, yakni reduksi karbon seperti penggunaan pembangkit listrik energi terbarukan, reforestasi, carbon capture dan proyek pengurangan emisi lainnya.
Perdagangan karbon di Indonesia makin menarik menyusul terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomo 14 Tahun 2023 yang mengatur tentang perdagangan karbon melalui Bursa Karbon Indonesia. OJK menunjuk PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai penyelenggaranya dan sudah diresmikan Presiden Jokowi, 26 September lalu.
Bursa karbon adalah sistem perdagangan karbon dalam bentuk kredit karbon atau izin emisi. Perusahaan yang berhasil mengurangi emisinya hingga di bawah target, maka diberikan izin untuk menjual emisi berlebih yang mereka punya kepada perusahaan lain yang emisinya melebihi target.
Jadi ini semacam insentif yang diberikan kepada perusahaan dan sektor-sektor lain untuk mencari cara-cara inovatif dan ramah lingkungan untuk mengurangi emisi, yang menyebabkan perubahan iklim dan perusakan lingkungan.(*)