Ketika Janji Jadi Puisi

NPC – Hari Guru Nasional 2024. Velodrom Rawamangun memanas, bukan karena balapan sepeda, tapi pidato Presiden Prabowo. Dengan suara lantang, beliau mengumumkan; gaji guru naik. Satu kali gaji pokok untuk ASN! Tunjangan guru non-ASN jadi Rp2 juta! Tepuk tangan membahana, wajah-wajah guru penuh harap, dan janji berubah jadi angan.

Lalu datanglah kenyataan, dingin seperti es krim yang jatuh ke lantai berdebu.
ASN: “Sama aja, Pak Presiden.” Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI, menyengir pahit. Gaji guru ASN naik satu kali gaji pokok? Bukankah itu hanya mengulang apa yang sudah ada? Guru ASN yang bersertifikasi sudah menerima ini sejak zaman dahulu kala. Tidak ada angin segar, hanya angin ribut di media sosial.

Non-ASN: “Alhamdulillah, tapi kok cuma segini?” Guru non-ASN yang bersertifikasi memang sedikit lebih cerah nasibnya. Dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta. Tambahan Rp500 ribu ini cukup untuk… mungkin beli pulsa, makan siang, atau ongkos tambahan menuju sekolah tempat mereka mengabdi. Tapi, apakah ini cukup untuk disebut “kesejahteraan”?

Dalam dokumen visi-misi Presiden Prabowo, Asta Cita berbunyi manis, gaji guru setara ASN lainnya. Tapi realitasnya? Para guru masih menanti. “Kami ingin dua kali UMR,” kata Fahriza. Apakah itu mimpi yang terlalu tinggi?

Dengan alokasi Rp81,6 triliun untuk 2025, angka naik Rp16,7 triliun dibanding tahun lalu. Angka fantastis! Tapi bagaimana aplikasinya? Guru tetap harus bersertifikasi untuk menikmati kenaikan. Sementara proses sertifikasi sendiri, seperti lomba lari estafet dengan tiang pancang di tengah lintasan.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, diam seribu bahasa. Wakil Menteri Atip Latipulhayat tak kunjung merespons. Guru terus mengabdi, berharap dan berdoa. Sementara pejabat sibuk dengan agenda-agenda lain.

Pidato di Velodrom seharusnya jadi titik awal revolusi pendidikan. Namun, itu justru menjadi refleksi atas sebuah pola lama, janji politik yang mengawang-awang, disambut gemuruh, lalu dilupakan perlahan-lahan.

Guru adalah pelita, tapi siapa yang menjaga agar minyak di dalamnya tetap menyala? Di ujung acara, seorang guru berbisik pada rekan di sebelahnya, “Kalau begini, kami sepertinya hanya jadi pemain figuran dalam drama besar bernama politik pendidikan.” Temannya mengangguk sambil tersenyum getir, seperti biasa. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *