NPC,- Dulu, Korea Selatan (Korsel) adalah lambang kemajuan. Ekonomi tumbuh pesat, teknologi canggih, K-pop mendunia. Tapi tunggu, wak! Ada satu hal yang tidak ikut tumbuh, bayi. Ya, bayi. Saking jarangnya lahir bayi, di negeri ginseng sekarang, punya anak itu hampir setara koleksi barang antik, langka dan mahal.
Bayangkan, populasi 52 juta orang sekarang diprediksi turun jadi cuma 17 juta di akhir abad ini. Itu pun kalau mereka masih sempat bikin anak di tengah hiruk-pikuk drama hidup. Padahal, bikin anak itu enak lho.
Kalau skenario lebih buruk? Hanya 14 juta yang tersisa. Ironis, negeri ini mungkin lebih banyak punya idol atau boneka dari bayi.
Tahun 1960-an, pemerintah Korsel sibuk main kalkulator. “Kalau banyak bayi, ekonomi bisa jebol!” katanya. Hasilnya? Program pengendalian populasi yang sukses menurunkan angka kelahiran dari 6 anak per perempuan jadi 2,4 dalam dua dekade. Tapi siapa sangka, rem yang mereka injak waktu itu malah bikin mesin populasi berhenti total.
Sekarang, dengan angka kelahiran yang lebih rendah dari rasa percaya diri penggemar K-drama setelah menonton episode sedih, pemerintah Korsel panik. Segala insentif dicoba, mulai dari uang tunai hingga ide radikal, “Punya tiga anak, bebas wajib militer!”
Salah satu aktor utama drama ini adalah perempuan Korsel. Mereka bilang, “Eh, ngurusin anak itu mahal, capek, dan bikin mimpi karier buyar!” Wajar saja, survei 2023 menunjukkan lebih dari separuh perempuan merasa mengasuh anak itu beban besar. Pernikahan? Pass! Bagi sepertiga perempuan Korsel, menikah itu opsional, dan punya anak lebih opsional lagi.
Tapi tunggu, di mana para lelaki? Ternyata, mereka lebih sibuk dengan hal-hal lain. Statistik menunjukkan 92% perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sementara laki-laki hanya 61%. Sisanya? Mungkin sedang menonton pertandingan sepak bola atau sibuk berdebat di forum online.
Presiden Yoon Suk Yeol menambah bumbu pedas di drama ini dengan mengatakan, feminisme adalah biang kerok konflik gender. Alih-alih mencari solusi, pemerintah seperti sibuk memperpanjang debat tak berujung. Akibatnya, perempuan semakin malas berurusan dengan sistem yang dianggap tidak adil. Sementara laki-laki merasa tersudutkan.
Krisis kesuburan ini adalah cermin retak yang memperlihatkan ketimpangan gender dan bentrokan budaya. Korsel kini seperti drama panjang tanpa sutradara yang jelas, penuh konflik tetapi nihil resolusi. Apakah solusinya ada di episode berikutnya? Entahlah. Tapi yang pasti, jika Korsel terus begini, siapa yang akan mewarisi segala pencapaian negeri ini? Idol K-pop, mungkin? Bila terus begini, ada memprediksi, Korsel negara pertama lenyap dari muka bumi. Makanya, disuruh kawin, cepat kawin, wak!
Tunggu kelanjutan ceritanya. Atau mungkin, kita malah harus mengucapkan annyeong (selamat tinggal) pada generasi mendatang di negerinya Shin Tae yong itu.
Negeri kita beruntung, masih suka kawin. Suka buat anak juga belum berkurang. Yang masih jomblo, ada salahnya cari pasangan, wak! Nikah itu enak. (*)