(Catatan Syafril Teha Noor)
USIANYA 30-an tahun. Datang ke Jakarta dari Solo, sejak 10-an tahun silam, bersangu ijazah SMP. Mulanya ikut paman dan saudara. Lalu bekerja sebagai penjahit di sebuah perusahaan konveksi.
Dinihari (2/12/24) itu, bersama dua teman seusia, dia menyelip di antara ratusan ribu orang. Shalat tahajud dan subuh berjamaah, menjelang Maulid Akbar dan Reuni 212 di Monas. Tak bersongkok, bergamis atau baju koko. ‘Cuma’ berkaos dan celana jeans hitam – tidak cingkrang. Di kepalanya terikat pita berkalimah tauhid – Laa ilaaha illallaah, Muhammadurrasululullaah.
“Kami tinggal di Grogol,” katanya. Kedua temannya melungker, tidur di atas hamparan plastik. Dia terlihat lelah dan menahan kantuk. Tapi berusaha menjawab saya dengan ramah.
Senyumnya mengembang, saat saya tanya ngapain ke Monas pukul 01.45 itu – “Ya mau gabung saja, pak,” jawabnya. “Tapi ini kan jam tidur?” – “Bapak malah dari Samarinda. Jauh sekali. Jam segini pasti lebih perlu istirahat,” dia mengembalikan pertanyaan saya seraya tertawa.
Akhirnya dia jawab juga. “Saya dari keluarga petani miskin. Tidak bisa sekolah sampai SMA. Apalagi kuliah. Tidak pandai. Hanya bisa mendukung. Kegiatan ini menurut saya baik. Maka saya dukung, dengan datang dan bergabung”.
Dekat Monas, seorang lelaki paruh baya bergerak ke beranda sebuah kedai Stasiun Gambir. Kursi-kursi penuh terisi. Dia lalu duduk di lantai. Seorang remaja, sedang makan mie instan dalam mangkuk plastik, segera berdiri, menyerahkan kursi yang barusan didudukinya kepada lelaki itu, dan pindah duduk ke lantai. Seekor kucing kurus mendekatinya. Kemudian, sambil terus makan, dia bagi mie instannya, kepada si kucing.
“Saya dari Palembang,” kata lelaki paruh baya tadi kepada seseorang usia sebaya di sampingnya. Datang ke Jakarta sendirian. Menginap di Masjid Istiqlal. Sepeninggal ke Monas barang bawaan dia taruh di penitipan sandal-sepatu di lantai dasar masjid itu. “Ini pertama kali saya ke Jakarta. Reuni 212 saya ketahui dari siaran televisi”. Keduanya mengobrol. Tampak segera akrab.
“Dari Palembang bapak naik apa?”
“Naik bus. Pulang nanti mungkin menumpang truk. Tahukah bapak di mana menemukan truk-truk yang akan ke Palembang?”
“Kenapa naik truk? Kenapa tidak naik bus lagi saja?”
Lama dia terdiam. Sampai kawan ngobrolnya mendesak. Lantas terungkaplah, uang di sakunya tinggal 67 ribu rupiah. Tak cukup. Ongkos bus ke Palembang antara 200 sampai 400 ribu rupiah. Mau jual HP, tak tahu di mana tempatnya.
“Bapak naik bus saja. Selain sulit mencarinya, naik truk belum tentu baik untuk orang seumur kita,” timpal si kawan ngobrol. Sejenak kemudian, dengan tangan tergenggam, dia sorong sejumlah uang. “Masyaallah! Ini banyak sekali!” Suara si lelaki paruh baya nyaris terpekik.
Tentu berjibun kisah mereka yang hari itu berduyun ke Monas; bersepeda dari Balikpapan, berjalan kaki dari kota di Jawa Barat, naik bus atau kereta dari kota-kota di Jawa dan Sumatera, naik pesawat dari NTB, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dari mana pun, selain dari banyak sudut Jakarta. Laki-laki-perempuan. Tua-muda. Remaja-kanak-kanak. Melenggang, berjalan dengan tongkat, dibopong atau duduk di kursi roda didorong sejawat.
Saat shalat tahajud dan subuh jumlah mereka sudah melampaui separuh luas pelataran Monas. Kemudian mulai berjejal menjelang terang tanah, ketika rombongan demi rombongan datang silih berganti. “Jangan menginjak taman!” – “Jangan membuang sampah di sembarang tempat!” – “Area ini dikhususkan untuk para akhwat, para ikhwan harap pindah ke area sebelah kanan panggung utama!” Begitu bunyi dari pengeras suara ulang-berulang, sejak pukul nol-nol.
Seorang perempuan terjebak di lautan jamaah laki-laki. Tampak bingung. Sesudah berunding dengan beberapa orang di dekatnya, entah suami, adik, kakak, atau kerabat, dia pun bergerak memisahkan diri, menuju area bagi jamaah perempuan.
Di beberapa titik terparkir oto-oto kakus, serta tangki-tangki air yang dimodifikasi untuk keperluan wudhu. Pun beberapa ambulans. Pos polisi dan toilet di Stasiun Gambir juga terbuka bagi sesiapa yang memerlukan. Ya untuk berwudhu, ya untuk buang hajat.
Di banyak titik lain berdiri posko-posko penyedia logistik. Menghidang minuman dan makanan aneka rupa, rasa, dan porsi. Gratis-tis-tis. Tinggal pilih mana yang disuka. Sebagian bahkan sampai ditawar-tawarkan, disorong-sorong.
Memang aneh. Tidak ada yang berebut. Apalagi bertengkar demi makanan-minuman. Banyak kelompok malah seperti berlomba memberi. Dengan roti, nasi-nasi bungkus, juadah, teh-kopi, air bening dalam kemasan botol .. apa saja, bagi siapa saja.
Di toilet portabel orang-orang tertib mengantre. Tak pernah saya bayangkan, bagaimana orang-orang kebelet beol dan pipis mampu mengantre sepanjang dan selama itu. Saking panjangnya, sampai membentuk liukan anaconda. Bagaimana mereka bisa berdamai sambil bertahan menghadapi tekanan kuat ‘arus bawah’ – hasrat bergelora untuk segera beol dan kencing!?
Orang-orang ini jelas kurang syarat untuk dikait-kaitkan dengan radikalisme dan keonaran. Wong ‘radikalisme dan keonaran’ di lambung dan kantung kemih saja mereka alami dengan tetap menghargai hak orang lain, kok. Di sini petugas Komisi Pencegah Serobotan ke WC (kalau ada) jelas bakal nganggur!
Usai shalat subuh saya berkeliling. Mengumpulkan bahan catatan dan gambar-gambar. Tak mudah keluar dari shaf sejarak 90-an meter dari panggung utama. Perlu meliuk-liuk menemukan sela. Kemudian melipir di batu pembatas taman. Meliuk-liuk lagi di antara shaf-shaf jamaah, melipir lagi, baru bisa berjalan rada melenggang di antara jamaah yang bergerombol-gerombol.
Saya bergerak dari satu ke lain titik, tanpa kuatir terluput materi dari panggung utama. Pengeras suara di mana-mana, walau sesekali diganggu kendala teknis. Tausiyah, doa-doa, seruan takbir, shalawat, dan lantunan kisah hidup Rasulullaah Muhammad SAW terus menggema. Jamaah antusias, larut dalam shalawat dan syair-syair pengagungan. Bergemuruh. Ada pula orasi-orasi berisi kecaman terhadap penistaan simbol-simbol Agama, serta tuntutan pemulangan Habib Rizieq bin Husain Syihab dari Arab Saudi. Takbir sahut-menyahut. Berkobar-kobar.
Saya ‘bersyukur’ mengambil keputusan menjauh dari panggung utama, untuk memantau dan memotret-motret sana-sini. Sebab sebentar kemudian arus massa yang kian deras dan besar terus susul-menyusul, hingga memenuhi hampir seluruh pelataran Monas.
Adegan-adegan ini pun terekam tustel dan HP saya; Orang-orang tertidur, bergelimpangan; Kakek-nenek di bawah pohon besar; Tentara istirahat; Orangtua di kursi roda; Antrean di kakus-kakus bergerak; Remaja membentang bendera Palestina jembar; Jejalan massa di pintu masuk; dan seterusnya.
Siapa mereka? Untuk apa ini semua? Demi apa? Atas alasan apa? Bagi kepentingan apa? Politis? Di bagian mananya? Anti NKRI? Lha kok bermunajat bagi keutuhan dan kebesaran Negara dan Bangsa? Kok menyanyikan Indonesia Raya?
Dagang agama? Siapa yang menjual? Siapa yang membeli? Apa keuntungan materil bagi keduanya? Sudah saya cari-cari. Tak juga saya temukan pembagi ‘uang transport’ di sudut-sudut kompleks monumen depan Istana Negara ini. Saya malah teringat penjahit dari Solo dan lelaki paruh baya dari Palembang tadi. Orang-orang yang dengan segala keterbatasan datang sambil berperang melawan lelah dan kantuk. Mereka tentu sangat memerlukan ‘laba’ perdagangan itu, jika benar ada.
Mau membangkangi pemerintah? Lha kok mendoakan kesehatan para pemimpin negeri? Kok mendoakan tentara dan polisi? Membela Agama? Bukankah di antara tugas pemerintah adalah juga membela Agama? Tidakkah membela Agama, dengan begitu, berarti membela pemerintah pula?
Di dekat pintu masuk, tak jauh dari ‘gapura’ metal detector, saya istirahat sebentar. Lumayan banyak polisi di sana. Seperti tentara di beberapa sudut lain, rata-rata mereka belia. Sebaya anak-kemenakan saya. Sebagian polisi perempuan berhijab.
Tidak saya lihat kewaspadaan tingkat tinggi di sini. Atau, mereka bersiaga sambil bersantai? Tak tahu juga. Yang saya tahu, mereka sedang gantian sarapan. “Mari makan, pak,” ajak seorang dari mereka. Saya menolak. Insyaallah sesopan cara dia mengajak. Saya memilih makan sepiring ketoprak di luar pintu masuk.
Pukul 09.00, saya menunggu kereta ke Jogja. Dari lantai atas Stasiun Gambir pelataran Monas tampak sangat jelas. Orang-orang sudah bergerak pulang. Tak ada sampah berserakan. Semua terlihat bersih. Bersih sebersih-bersihnya. Kemudian terngianglah ucapan guru saya, empatpuluhan tahun silam; “Kebersihan terwujud hanya oleh orang-orang berhati bersih”. Begitu berkali-kali.
Tidur cuma sejam di rumah seorang kawan di Condet, pukul sepuluh sampai sebelas kemarin malam. Tapi mata saya nyalang sepanjang perjalanan Jakarta-Jogja, pagi hingga petang ini. Melintas di Stasiun Cikini saya lihat sebagian massa majelis akbar barusan memenuhi peron, menunggu KRL untuk kembali ke rumah atau tempat kerja masing-masing.
Tampaknya telah saya temukan jawaban atas sedaftar pertanyaan tadi. Terutama tentang siapa saja belantara manusia di kaki Monas itu. Wallaahua’lam. (*)
Catatan : Penulis adalah wartawan senior dan seniman Kaltim.
Can I ask a quick question about your site? https://google.com/?Maype
RoMaype