Penulis: Ririe Aiko
Kasus dugaan pelecehan berat oleh seorang dokter residen anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung baru-baru ini, mengguncang rasa aman masyarakat, khususnya perempuan. Peristiwa ini mengingatkan kita betapa rentannya posisi pasien ketika menjalani prosedur medis yang melibatkan pembiusan atau kondisi tidak sadar. Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi ruang penyembuhan justru menjadi sumber trauma baru akibat ulah segelintir oknum yang mengkhianati amanah profesi.
Selama ini, perempuan mempercayakan tindakan medis, termasuk anastesi, kepada dokter, terlepas dari jenis kelamin tenaga medis tersebut. Kepercayaan ini lahir dari ketidaktahuan pasien tentang detail prosedur medis serta keyakinan bahwa profesi dokter terikat oleh sumpah dan etika tinggi. Namun, dengan adanya kasus ini, rasa percaya tersebut tercabik. Tidak sedikit perempuan kini merasa was-was, membayangkan kemungkinan terburuk saat harus dirawat atau menjalani tindakan medis di bawah pengaruh obat bius, terutama jika penanggung jawab medisnya adalah laki-laki.
Fenomena ini mengindikasikan perlunya evaluasi serius terhadap sistem pengawasan di lingkungan rumah sakit, khususnya dalam prosedur-prosedur yang melibatkan kondisi tidak sadar pasien. Kehadiran saksi tambahan di ruang tindakan, penggunaan CCTV di area-area yang memungkinkan (tanpa mengganggu privasi medis), serta pengetatan aturan pengawasan tenaga medis selama tindakan berlangsung menjadi kebutuhan mendesak.
Sebagaimana pasien menyerahkan nyawanya kepada tim medis saat menjalani operasi atau prosedur medis lainnya, institusi layanan kesehatan berkewajiban penuh untuk memastikan keselamatan fisik, psikis, dan kehormatan pasien. Upaya menjaga martabat pasien tidak boleh hanya menjadi jargon; ia harus diwujudkan dalam sistem dan budaya kerja yang konkret di setiap institusi kesehatan.
Tidak kalah penting, pelaku dalam kasus ini harus dihukum tegas dan transparan. Hukuman berat bukan hanya untuk memberikan efek jera kepada pelaku, melainkan juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap dunia medis. Sanksi administrasi seperti pemecatan dari program pendidikan spesialis sudah semestinya diikuti dengan proses pidana hingga vonis maksimal yang setimpal dengan perbuatannya.
Perempuan berhak merasa aman kapan pun dan di mana pun, termasuk saat berada dalam situasi rawan seperti kondisi sakit. Tidak seharusnya perempuan membawa rasa takut ke ruang perawatan hanya karena ada segelintir orang yang mencoreng profesi mulia ini. Apalagi, ketakutan itu bisa berujung pada penundaan atau penghindaran tindakan medis penting, yang tentu saja membahayakan keselamatan mereka sendiri.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum perbaikan menyeluruh di sektor kesehatan. Protokol-protokol pengawasan yang lebih ketat dan berperspektif perlindungan terhadap pasien perlu segera dirumuskan dan diterapkan. Rumah sakit harus memperlihatkan keseriusan mereka dalam menjaga keamanan pasien, tidak sekadar melalui pernyataan empati, tetapi lewat tindakan konkret yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Di sisi lain, lembaga pendidikan kedokteran pun harus memperkuat pendidikan karakter dan etika profesi di semua jenjang. Menjadi dokter bukan sekadar perkara kecakapan medis, melainkan juga ketulusan menjaga martabat manusia. Dunia kedokteran mesti menolak keras segala bentuk penyimpangan, sekecil apa pun itu, demi menjaga kemuliaan profesi dan, yang lebih penting lagi, melindungi hak-hak pasien sebagai manusia seutuhnya.
Kasus ini bukan hanya tentang satu individu yang menyimpang, melainkan tentang sistem yang harus mampu melindungi yang lemah dalam situasi rentan. Kita semua, terutama pengelola layanan kesehatan, punya tanggung jawab moral untuk memastikan tidak ada lagi perempuan, atau siapa pun, yang merasa terancam ketika mereka seharusnya mendapatkan perlindungan terbaik.(*)