Tebe, Gerakan dan Nyinyir?

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Di tanah yang katanya dihuni oleh orang baik hati dan jujur, di pulau yang dipuja dunia karena arif menjaga alam, ada surat edaran yang mengajak: mari bersih, mari peduli, mari kita urus sampah kita sendiri, justru menjadi paradoks yang menggelitik: ajakan bersih kok malah dicibir?

Gubernur Bali, Wayan Koster, mungkin tak sedang menulis puisi saat menandatangani surat edaran itu, tapi isinya sejatinya adalah puisi untuk bumi: ajakan sederhana yang menyimpan visi besar.

Namun dunia hari ini tampaknya sudah terlalu bising oleh suara sinis. Media sosial langsung riuh—“tak mungkin” “memberatkan”, “proyek yang mematikan usaha kecil.” Kita memang cepat lelah dengan kebaikan, apalagi bila datang dari yang berkuasa.

Padahal, mari lihat baik-baik: apa salahnya diajak bersih?

Apakah terlalu suci hingga terasa asing? Atau barangkali kita memang lebih akrab dengan sampah plastik, bau got daripada aroma tanah basah dari tebe yang subur?

Tapi gerakan itu tak patah. Sekda Bali, Dewa Made Indra, tak membiarkan surat itu jadi angin lalu. Ia mengubah huruf-huruf dalam edaran itu menjadi wujud nyata: setiap kantor, setiap instansi, diperintahkan harus punya tebe modern. Lubang kecil yang bukan hanya menelan sampah, tapi memberi napas bagi tanah.

Dan bayangkan, jika tiap kantor ada dua tebe, lalu setiap SMA/SMK ikut menanamkannya, dan Sekda kabupaten/kota turut menindaklanjuti, maka Bali akan dipenuhi oleh titik-titik hidup. Pada halaman TK, SD, SMP, kantor swasta, rumah-rumah…, semua membangun tebe. Bumi tak lagi kering oleh air hujan yang hanyut sia-sia. Tanah akan kembali basah, kembali subur, kembali bernyawa. Yang menarik: semua ini dari surat yang dinyinyiri. Lucu, bukan?

Nyinyir tak sanggup menghalangi akar yang tumbuh. Sinisme tak mampu menutupi tanah yang akan hijau kembali. Ajakan menjelma menjadi gerakan, dan gerakan menjelma menjadi kebiasaan.

Lalu, mengapa ajakan baik harus selalu dicurigai? Mungkin karena kita terlalu sering dikhianati janji, hingga lupa cara percaya.

Tapi tebe tak butuh janji. Ia cukup hadir. Diam-diam bekerja. Menyaring yang organik, menyerap air hujan, menumbuhkan kompos, menghidupi tanah. Ia tak menuntut pujian, hanya butuh kesetiaan.

Maka biarlah mereka yang ingin terus nyinyir tetap berkutat di dunia maya. Sebab di dunia nyata, tanah-tanah akan berubah. Lubang-lubang tebe bermunculan, dan dari sanalah lahir harapan.

Karena kadang, yang kita butuhkan bukan orasi, bukan debat, apalagi caci-maki. Tapi satu lubang kecil di tanah—yang menyerap air, menelan sampah, dan diam-diam menyuburkan bumi.

Sugihan Jawa, 10 April 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *